COGANEWS.COM | Palembang – Sungguh terasa sangat beda pemandangan di dua bulan terakhir, hampir di setiap persimpangan lampu merah mereka muncul.
The silver men, manusia perak !
Ya, saat pertama saya melihat para manusia perak ini, muncul empati dan terbersit dalam hati bahwa seni kontemporer sedang diperagakan oleh para pantomimers.
Karena di beberapa kota metropolitan seperti jakarta, bandung, jogya, dll para pantomimers mengekspresikan kreatifitas seni kontemporer mereka dengan menciptakan manusia patung dibalut cat warna perak.
Dan saya sempat terpengaruh secara emosional serta memiliki ekspektasi terhadap kehadiran manusia perak ini.
Karena saya pernah berkecimpung didalam dunia seni, maka secara naluriah saya memberikan beberapa puluh ribu kepada mereka dan mengacungkan jempol saya.

Namun setelah seminggu saya mengawasi tingkah mereka, mulai muncul perasaan kurang nyaman, karena pola mereka di setiap persimpangan lampu merah dimana saya rutin melewati jalan tersebut, tidak ada sedikitpun kreasi seni yg saya lihat.
Maka rasa empati yg muncul diawal saya menjumpai manusia perak ini berangsur mulai pudar berganti rasa kesal dan kecewa.
Ternyata bukan eksplorasi seni patung kontemporer dan seni pantomim yg ditampilkan para manusia perak ini, justru lebih cenderung sebuah aktifitas eksploitasi kemiskinan dan upaya memanipulasi seni, dan bagi saya ini sebuah pencederaan nilai-nilai seni.
Jika anda termasuk orang yg agak kepo seperti saya, maka sangat terasa ini adalah kerjaan oknum yang memobilisasi para manusia perak ini untuk kepentingan bisnis, dengan mendesain mereka seolah-olah para pelaku seni, namun kenyataannya tidak lebih dari para pengemis jalanan, yang dimodifikasi atribut serta penampilannya dengan identitas para seniman pantomim dan seniman kontemporer.
Perhatikan saja pola tampil mereka, disaat kendaraan kita berhenti di traffic light, para manusia perak ini langsung mendekati kendaraan dan memberi hormat, sementara ditangan satunya menadahkan kaleng untuk meminta uang, persis seperti pengemis.
Tidak ada kreasi seni yg ditunjukkan tetapi seolah-olah sebuah gerakan yg monoton, memberi hormat dan menyodorkan kaleng sumbangan.

Dan saya berani menyimpulkan ini bentuk mobilisasi manusia berkedok seni, dan mengeksploitasi kemiskinan.
Para manusia perak ini beragam , dari segi usia maupun jenis kelaminnya.
Dari usia dini hingga orang dewasa, laki-laki dan perempuan. Jelas ini sebuah kejahatan sosial ! Lantas dimana aparat yg berwenang ?
Saya perlu bertanya kepada sahabat-sahabat saya di dinas sosial, satuan polisi pamong praja, apakah kemunculan para manusia perak ini memang tidak terdeteksi ? Apakah “hantu” yg jadi sutradara pengeksploitasi kemiskinan untuk kepentingan bisnis mereka tidak bisa terlacak dan ditindak ?
Dan juga sahabat-sahabat saya para penggiat seni, apakah persepsi kalian beda dengan persepsi saya? Mungkinkah dimata kalian bhw manusia perak ini adalah sebuah karya seni dan ekspresi dari seniman kontemporer ?
Kalau memang demikian maka sayalah yang tolol dan naif, ternyata saya memang buta tentang seni.
Salam takzim,
- Suparman Romans
- Pensiunan aktifis Teater 707
- Mantan ketua Dewan Kesenian Palembang
- Pensiunan group musik country Movet










