oleh

TV Kita Dalam Peliputan Duka

  • Oleh : Drs. H. Azkar Badri, M.Si
  • The RAWAS (Riset Apresiasi Warga Dan Sosial) Yayasan Pataka

Pendapat Pakar Komunikasi, Bukan Hanya media yang dapat mempengaruhi perilaku khalayak. Tetapi mediapun dipengaruhi oleh khalayak. Saling mempengaruhi. Hal ini dalam kondisi sekarang, di tengah Pandemi Covid 19 menjadi bukti nyata. Ibarat Ayam dengan Telor. Ayam bisa menyebabkan ada Ayam. Begitu juga sebaliknya, Telor bisa menyebabkan ada Ayam.

Korban Pandemi Covid, baik yang meninggal maupun dalam perawatan di Rumah Sakit di manapun munculnya di televisi. Seolah media dengar pandang ini di dalamnya penuh sesak manusia-manusia korban Covid. Kayak Pameo yang timpa pada Surat Kabar Poskota waktu itu, jika diperas korannya, bercucuran darah. Saking seringnya menurunkan berita korban kriminal dan korban kecelakaan. Jadi barang candaan dalam Teka Teki, Nenek-Nenek kecebur sumur. Munculnya di mana. Jawabannya, di Poskota.
Dalam konteks ini, media sangat dipengaruhi oleh khalayak dalam menentukan politik redaksinya.

Begitu juga dalam hal media mempengaruhi khalayak. Sekarang ini karena penayangan korban Pandemi Covid tak henti-henti, menjadi tema sentral politik tayangan televisi. Khalayak bukan hanya sekedar tahu dan paham isi tayangan/siaran Dengar Pandang ini. Tetapi sudah sangat jauh dari itu. Sudah menimbulkan ketakutan, kekhawatiran dan pesimisme hidup masyarakat/khalayak. Merambat ke imunitas bodynya, apalagi jika imannya terhadap Sang Khaliq, Sang Malik, Penguasa Hakiki jagat raya ini tipis. Peran Tuhan dinihilisasi, pasrah kosong. Pasti imunitas bodynya menurun, beralamat menjadi calon-calon korban Covid. Au’dzubillah min dzalik.

Ini otomatis bertolak belakang dengan Fungsi Media sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol sosial perekat sosial sebagaimana dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Tentunya dalam konteks Edukatif/Pendidikan dan Rekreatif/Hiburan. Sudah menjadi media menakutkan.

Di samping Televisi, ada media massa lainnya dan media sosial. Tapi media massa elektronik ini cukup besar pengaruhnya terhadap khalayak. Satu sisi dia sebagai media dengar pandang, yang seolah media ini menyatu di sekeliling dan dalam suasana khalayak/masyarakat di tempatnya berada (Nilai Empatinya sangat tinggi). Satu sisi lain persebaran siarannya cukup luas (Ini mungkin bisa sama dengan media massa lainnya, termasuk media sosial). Dan sangat mudah diakses (Ini juga mungkin idem dengan media massa lainnya).

Kembali kepada tayangan dominan korban Covid. Rasa ketakutan masyarakat sudah di atas ambang batas/normal. Masyarakat/khalayak sudah mulai mengadakan Gerakan Tanpa Berita Covid yang dibuktikan dengan stiker berseliweran di media sosial, terutama WhatsApp, bernuansa Stop Berita Covid. Bahkan ada informasi di suatu daerah sudah hampir satu bulan terakhir mereka tidak menonton berita tentang korban Covid di televisi dan media lain.

Hal ini perlu menjadi perhatian oleh Pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Pengelola media televisi dan media lainnya. Perlu dievaluasi ulang, di samping dia sudah tidak efektif lagi juga yang lebih parah sesuatu yang harus dijauhi karena menakutkan. Sementara menurut undang-undang Penyiaran pasal 5, Penyiaran diarahkan antara lain untuk Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia. Serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional.

Sebetulnya esensi berita yang dimaksud ini, agar masyarakat waspada dan melakukan kehidupan sesuai dengan Protokol Kesehatan, supaya terhindar dari Terpapar Pandemi Covid. Maka pendekatan komunikasi/strategi komunikasi bukan dengan memberikan simbol ancaman, sanksi akibat tidak patuh peraturan kehidupan di masa Covid. Padahal Komunikasi persuasif lebih efektif untuk mencapai tujuan pesan yang diinginkan. Tapi ini kelemahan komunikasi dengan media ini. Komunikasi persuasif dapat dijalankan dengan baik melalui komunikasi tatap muka.

Sekali lagi ini kelemahan di era kita sekarang ini pasca reformasi. Dulu ini menjadi lahan garapan Departemen Penerangan yang secara struktural mempunyai Insan Penerangan sampai ke tingkat desa seluruh Indonesia. Mereka berada dalam nomenklatur Juru Penerangan (Jupen), latarbelakang mereka ini kebanyakan berbasis paham/tokoh agama. Dalam agama dikenal dengan ajakan Bilhikmah, mengajak dengan pendekatan kesejukan/lemah lembut.

Boleh juga media televisi, tidak hanya banyak menayangkan berita menakutkan itu. Ia juga harus berimbang dengan banyaknya berita yang membawa/memberikan harapan kehidupan, istilahnya Tanda-Tanda Kehidupan dalam kesulitan ekonomi bagi kebanyakan masyarakat kelas menengah ke bawah sekarang ini.

Berdasarkan survey di bawah. Masyarakat yang masuk dalam kategori ini, sangat berharap banyak informasi atau berita yang mudah diakses, masalah Bantuan Sosial di masa Pandemi Covid, dan bagaimana cara mendapatkannya. Dan mereka ingin tahu juga kenapa misalnya, Bantuan Untuk UMKM yang semula Rp 2, 4 juta turun menjadi Rp 1, 2 juta. Kemudian juga pertanyaan, kenapa Bantuan Sosial ini belum merata pembagiannya, lantaran masih sangat terbatas. Informasi/berita sejenis ini bisa dikombinasi dengan kabar buruk yang lebih dominan.

Salam sehat selalu. Semoga Pandemi Covid ini cepat berlalu. Satu kebersamaan, khalayak mitra kita. Partisipasi seluruh elemen menentukan efektivitas keberhasilannya. Semoga.

Ciputat, 14 Juli 2021